Akan tetapi, dalam perkembangan pemikiran ushul fikih yang terlihat dalam kitab-kitab ushul fikih kontemporer, istilah sumber hukum dan dalil hukum tidak dibedakan. Mereka menyatakan bahwa apa yang disebut dengan dalil hukum adalah mencakup dalil-dalil lain yang dipergunakan dalam istinbat hukum selain Al Quran dan as sunnah. Sebab, keduanya merupakan istilah teknis yang yang dipakai oleh para ulama ushul untuk menyatakan segala sesuatu yang dijadikan alasan atau dasar dalam istinbat hukum dan dalam prakteknya mencakup Al Quran, as sunnah dan dalil-dalil atau sumber-sumber hukum lainnya.
Pengertian Al-Qur`an
Sumber secara etimologi berarti aal dari segala sesuatu atau tempat merujuk sesuatu. Dan dalil berarti petunjuk pada sesuatu, baik yang bersifat material maupun nonmaterial.
Adapun secara termonologi dalam ushul fiqih, sumber diartikan sebagai rujukan yang pokok/utama dalam menetapkan hukum Islam, yaitu berupa Al-Qur’an dan As-Sunah. Sedang dalil mengandung pengertian sebagai suatu petunjuk yang dijadikan landasan berfikir yang benar dalam memperoleh hukum syara’ yang bersifat praktis baik yang kedudukannya qath’I (pasti) atau zhanni (relatif).
Oleh sebab itu, para ulama ushul fiqih kontemporer lebih cenderung memilih bahwa yang menjadi sumber utama hukum Islam tersebut adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Karena Al-Qur’an dan Sunnah disepakati seluruh ulama ushul fiqih klasik dan kontemporer, sebagai primer hukum Islam.
Secara etimologis, Al-Qur`an adalah bentuk dari mashdar dari kata qa-ra-a, artinya: bacaan, berbicara tentang apa yang tertulis padanya atau melihat dan menelaah. Kata “Qur`an” digunakan dalam arti sebagai nama kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Arti Al-Qur`an secara terminologis ditemukan dalam bebrapa rumusan definisi sebagai berikut:
- Menurut Syaltut, Al-Qur`an adalah: Lafaz Arabi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, dinukilkan kepada kita secara mutawatir.
- Al-Syaukani mengartikan Al-Qur`an: Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, tertulis dalam mushaf, dinukilkan secara mutawatir.
- Definisi Al-Qur`an yang dikemukakan Abu Zahrah ialah: Kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad.
- Menurut Al Sarkhisi: Kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, ditulis dalam mushaf diturunkan dengan huruf yang tujuh yang mansyur dan dinukilkan secara mutawatir.
- Al-Amidi memberikan ta`aruf Al-Qur`an: Al-kitab Al-Qur`n yang diturunkan.
- Ibn Subkhi mendefinisikan: Lafaz yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, mengandung mu`jizat setiap suratnya.
Definisi ini mengandung beberapa unsur yang menjelaskan hakikat Al-Qur`an yaitu:
- Al-Qur`an berbentuk lafaz, mengandung arti bahwa apa yang disampaikan Allah melalui Jibril kepada Nabi Muhammad saw dalam bentuk makna dan dilafazkan oleh nabi dengan ibadahnya sendiri.
- Al-Qur`an itu adalah berbahasa Arab. Ini mengandung arti bahwa Al-Qur`an yang dialihbahasakankepada bahasa lain atau yang diibaratkan dengan bahasa lain bukanlah Al-Qur`an karenanya shalat yang menggunakan terjemaahan Al-Qur`an tidak sah.
- Al-Qur`an itu diturunkankepada Nabi Muhammad saw, ini mengandung arti bahwa wahyu Allah yang disampaikan kepada nabi-nabi terdahulu tidaklah disebut Al-Qur`an , tetapi apa yang dihikayatkan dalam Al-Qur`an tentang kehidupan dan syariat yang belaku bagi umat terdahulu adalah Al-Qur`an.
Disamping 3 unsur pokok tersebut, ada beberapa unsur sebagai penjelasan tambahan yang ditemukan sebagian dari beberapa definisi Al-Qur`an diatas, yaitu:
- Kata-kata mengandung mu`kizat setiap suratnya, memberi penjelasan bahwa setiap ayat Al-Qur`an mengandung day mu`jizat oleh karena itu hadits qudsi atau tafsiran Al-Qur`an dalam bahasa Arab bukanlah Al-Qur`an karena tidak mengandung daya mu`jizat.
- Kata-kata “beribadah membacanya” memberi penjelasan bahwa dengan membaca Al-Qur`an berarti melakukan suatu perbuatan ibadah yang berhak mendapat pahala, karenanya membaca hadits qudsi yang tidak mengandung daya ibadah seperti Al-Qur`an tidak dapat disebut Al-Qur`an.
- Kata-kata tertulis dalam mushaf “(dalam definisi Syaukani dan Sarkhisi), mengandung arti bahwa apa yagn tidak tertulis dalam mushaf walaupun wahyu itu diturunkan kepada nabi, umpamanya ayat-ayat yang telah dinasakhkan, tidak lagi disebut Al-Qur`an.
Di kalangan ulama ushul seperti istilah masadir al ahkam, masadir al syariah, masadir al tasyri atau yang diartikan sumber hukum. Istilah-istilah ini jelas mengandung makna tempat pengambilan atau rujukan utama serta merupakan asal sesuatu. Sedangkan dalil atau yang diistilahkan dengan adillat al ahkam, ushul al ahkam, asas al tasyri dan adillat al syari;ah mengacu kepada pengertian sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk sebagai alasan dalam menetapkan hukum syara.
Oleh karena itu, dikalangan ulama ushul masalah dalil hukum ini terjadi perhatian utama atau dipandang merupakan sesuatu hal yang sangat penting ketika mereka berhadapan dengan persoalan-persoalan yang akan ditetapkan hukumnya. Dengan demikian setiap ketetapan hukum tidak akan mempunyai kekuatan hujjah tanpa didasari oleh pijakan dalil sebagai pendukung ketetapan tersebut.
Otentitas Al-Qur`an
Umat Islam sepakat bahwa kumpulan wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, yang disebut Al-Qur`an dan yang tersirat dalam mushaf, adalah otentik (semuanya adalah betul-betul dari Allah swt). Termuat dalam Al-Qur`an. Keotentikan Al-Qur`an ini dapat dibuktikan dari kehati-hatian para sahabat nabi dalam memeliharanya sebelum ia dibukukan dan dikumpulkan. Begitu pula kehati-hatian para sahabat dalam membukukan dan menggandakannya.
Sebelum dibukukan, ayat-ayat Al-Qur`an berada dalam rekaman teliti para sahabat, baik melakukan hafalan yang kuat dan setia atau melalui tulisan di tempat yang terpisah. Ia disampaikan dan disebarluaskan secara periwayatan oleh orang banyak yang tidak mungkin bersekongkol untuk berdusta, bentuk periwayatan seperti itu dinamakan periwayatan secara mutawatir yang menghasilkan suatu kebenaran-kebenaran yang tidak meragukan. Oleh karena itu Al-Qur`an di masa Abu Bakar pembukuannya dilakukan secara teliti dengan mencocokan tulisan yang ada dengan hafalan para penghafal, sehingga kuat dugaan bahwa semua wahyu telah direkam dalam mushaf. Kemudian hasil pembukuan itu disimpan secara aman di tangan Abu Bakar, lalu pindah ke tangan Umar Ibn Khattab dan setelah beliau wafat, pindah ketangan Hafsah binti Umar (istri nabi).
Terakhir diadakan pentashihan pada masa Khalifah Usman sehingga menghasilkan satu naskah otentik yang disebut mushaf Imam. Salinan dari naskah (mushaf) itu dikirimkan ke kota-kota besar lain, sedangkan yang selain itu dibakar. Mushaf Imam yang dijadikan standard itu dijadikan rujukan bagi perbanyakan dan pentashihan berikutnya sehingga berkembang dalam bentuk aslinya sampai waktu ini.
Ditinjau dari sudut tempatnya, Al Quran turun di dua tempat yaitu:
- Di Mekkah atau yang disebut ayat makkiyah. Pada umumnya berisikan soal-soal kepercayaan atau ketuhanan, mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, ayat-ayatnya pendek dan ditujukan kepada seluruh ummat. Banyaknya sekitar 2/3 seluruh ayat-ayat Al Quran.
- Di Madinah atau yang disebut ayat madaniyah. Ayat-ayatnya panjang, berisikan peraturan yang mengatur hubungan sesama manusia mengenai larangan, suruhan, anjuran, hukum-hukum dan syari’at-syari’at, akhlaq, hal-hal mengenai keluarga, masyarakat, pemerintahan, perdagangan, hubungan manusia dengan hewan, tumbuh-tumbuhan, udara, air dan sebagainya.
Kehujjahan Al Quran dari segi penjelasannya ada 2 macam:
- Muhkam yaitu ayat-ayat yang teran artinya, jelas maksudnya dan tidak mengandung keraguan atau pemahaman lain selain pemahaman yang terdapat pada lafaznya.
- Mutasyabih yaitu ayat yang tidak jelas artinya sehingga terbuka kemungkinan adanya berbagai penafsiran dan pemahaman yang disebabkan oleh adanya kata yang memiliki dua arti/maksud, atau karena penggunaan nama-nama dan kiasan-kiasan.
Semoga bertambah ilmu kita dalam mengetahui Al-Qur'an merupakan Sumber sekaligus Dalil Hukum di dunia ini. Alhamdulillah...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar