|
Mengenal Apa Saja Yang Membatalkan Puasa Ramadhan |
Puasa adalah ibadah yang sangat berguna bagi jasmani dan rohani kita. Mungkin kebanyakan dari kita sudah banyak mengetahui tentang
Apa Saja yang Dapat Membatalkan Puasa Ramadhan. Namun tidak sedikit juga barangkali yang masih belum
MENGENAL APA SAJA YANG MEMBATALKAN PUASA RAMADHAN itu sendiri. Simaklah, beberapa hal yang
membatalkan puasa kita. Adapun beberapa
hal yang
membatalkan Puasa, sebagaimana yang harus dihindari dalam rukun puasa adalah:
PERTAMA
Makan dan Minum dengan Sengaja
Allah Ta’ala berfirman,
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ
لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang
hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang)
malam.” (QS. Al Baqarah [2] : 187)
Dari ayat
ini berarti
puasa
adalah menahan diri dari makan dan minum. Jika orang yang berpuasa
makan dan minum, batal-lah puasanya. Ini dikhususkan jika makan dan
minum dilakukan secara sengaja. Jika orang yang berpuasa
lupa, keliru, atau dipaksa, puasanya tidaklah batal.
Dalam Shohih Bukhari dibawakan Bab ‘Apabila seseorang yang berpuasa makan dan minum dalam keadaan lupa’.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا نَسِىَ فَأَكَلَ وَشَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ
“
Apabila seseorang makan dan minum dalam keadaan lupa, hendaklah dia tetap menyempurnakan puasanya karena Allah telah memberi dia makan dan minum.” (HR. Bukhari no. 1933)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِى الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ
“
Sesungguhnya Allah menghilangkan dari umatku dosa karena keliru, lupa, atau dipaksa.” (HR. Ibnu Majah no. 2045. Syaikh Al
Albani
dalam Shohih wa Dho’if Sunan Ibnu Majah mengatakan bahwa hadits ini
shohih)
Catatan : Yang juga termasuk makan dan minum adalah injeksi makanan
melalui infus. Jika seseorang diinfus dalam keadaan puasa, batal-lah
puasanya karena injeksi semacam ini dihukumi sama dengan makan dan
minum. (Lihat Shifat Shoum An Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal.
72, Dar Ibnu Hazm)
KEDUA
Muntah dengan Sengaja
Dalam Sunan Abu Daud dibawakan Bab “Orang yang berpuasa dan muntah dengan sengaja.”
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ ذَرَعَهُ قَىْءٌ وَهُوَ صَائِمٌ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَإِنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ
“
Barangsiapa yang dipaksa muntah sedangkan dia dalam keadaan puasa,
maka tidak ada qodho’ bagi orang tersebut. Namun, apabila dia muntah
(dengan sengaja), maka wajib baginya membayar qodho’.” (HR. Abu Daud
no. 2380. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud
mengatakan bahwa hadits ini shohih. Hadits ini juga diriwayatkan oleh At
Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)
Hal-Hal Yang Membatalkan Puasa
KETIGA
Haidh dan Nifas
Apabila seorang wanita mengalami haidh atau nifas di tengah-tengah
berpuasa baik di awal atau akhir hari puasa, maka dia wajib membatalkan
puasanya. Apabila dia tetap berpuasa, puasanya tidaklah sah.
Dalam Shohih Bukhari dibawakan Bab “Wanita Haidh Meninggalkan Puasanya.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika berkhutbah Idul
Fitri atau Idul Adha di hadapan para wanita,
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ » . قُلْنَ بَلَى . قَالَ « فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ دِينِهَا »
“
Bukankah kalau wanita tersebut haidh, dia tidak shalat dan juga
tidak menunaikan puasa?” Para wanita menjawab, “Betul.” Lalu beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itulah kekurangan agama wanita.” (HR. Bukhari no. 304)
Wanita yang mendapatkan haidh ketika puasa wajib mengqodho’ puasanya.
An Nawawi dalam Shohih Muslim membawakan Bab “Wajibnya Mengqodho’ Puasa
bagi Wanita Haidh sedangkan Shalat Tidak Perlu Diqodho’ “.
Dari Mu’adzah, beliau berkata, “Aku bertanya kepada ‘Aisyah,
مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِى الصَّوْمَ وَلاَ تَقْضِى الصَّلاَةَ
“
Mengapa wanita haidh harus mengqodho’ puasa dan tidak mengqodho’ shalat?”
‘Aisyah lantas berkata,
أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ
“
Apakah engkau seorang Haruriy (Khowarij)?”
Lantas aku berkata,
لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ وَلَكِنِّى أَسْأَلُ.
“
Aku bukanlah seorang Haruriy. Aku hanya sekedar bertanya.”
Lalu ‘Aisyah menjawab,
كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.
“
Dulu kami mengalami haidh. Kami diperintahkan untuk mengqodho’ puasa dan kami tidak diperintahkan mengqodho shalat.” (HR. Bukhari no. 321 dan Muslim no. 335)
KEEMPAT
Jima’ (Bersetubuh) di Siang Hari
Seseorang yang melakukan jima’ di siang hari bulan Ramadhan maka dia
harus mengqodho’ puasanya dan wajib baginya membayar kafaroh. Dalil
mengenai hal ini dibawakan oleh Bukhari dalam kitab shohihnya pada Bab
‘Apabila seseorang bersetubuh di bulan Ramadhan dan dia tidak memiliki
sesuatu pun, maka dia diberi sedekah untuk kafarohnya.’
An Nawawi juga membawakan judul Bab dalam Shohih Muslim : ‘Pengharaman
jima’ yang keras di siang hari bulan Ramadhan bagi orang yang berpuasa,
wajibnya membayar kafaroh yang cukup berat di dalamnya dan
penjelasannya. Kafaroh ini wajib bagi orang yang lapang ataupun sempit.
Kewajiban ini tetap ada sampai orang yang kesulitan tersebut mampu
menunaikan kafarohnya.’
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Suatu hari kami duduk-duduk di
dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian datanglah seorang
pria menghadap beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu pria tersebut
mengatakan,
يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ
“
Wahai Rasulullah, celaka aku.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
مَا لَكَ
“
Apa yang terjadi padamu?”
Pria tadi lantas menjawab,
وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِى وَأَنَا صَائِمٌ
“
Aku telah menyetubuhi istri, padahal aku sedang puasa.”
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,
هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا
“
Apakah engkau memiliki seorang budak yang dapat engkau merdekakan?”
Pria tadi menjawab, “
Tidak”.
Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi,
فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ
“
Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?”
Pria tadi menjawab, “
Tidak”.
Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi,
فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا
“
Apakah engkau dapat memberi makan kepada 60 orang miskin?”
Pria tadi juga menjawab, “
Tidak”.
Abu Hurairah berkata,
فَمَكَثَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم
- ، فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِىَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه
وسلم - بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ - وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ -
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas diam. Tatkala kami dalam
kondisi demikian, ada yang memberi hadiah satu wadah kurma kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata,
أَيْنَ السَّائِلُ
“
Di mana orang yang bertanya tadi?”
Pria tersebut lantas menjawab, “
Ya, aku.”
Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
خُذْهَا فَتَصَدَّقْ بِهِ
“
Ambillah dan bersedakahlah dengannya.”
Kemudian pria tadi mengatakan,
|
Pembatal Puasa |
أَعَلَى أَفْقَرَ مِنِّى يَا رَسُولَ
اللَّهِ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا - يُرِيدُ الْحَرَّتَيْنِ -
أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِى
“
Apakah akan aku berikan kepada orang yang lebih miskin dariku, wahai
Rasulullah? Demi Allah, tidak ada yang lebih miskin di ujung timur
hingga ujung barat kota Madinah dari keluargaku. ” Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam lalu tertawa sampai terlihat gigi taringnya. Kemudian
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ
“
Berilah makanan tersebut pada keluargamu.” (HR. Bukhari no. 1936 dan Muslim no. 1111)
Mengenal Apa Saja Yang Membatalkan Puasa Ramadhan
Dari hadits di atas ada beberapa hal yang bisa disimpulkan.
[1] Orang yang menyetubuhi istrinya padahal dia dalam keadaan berpuasa, maka puasanya batal.
[2] Orang tersebut harus mengqodho’ puasanya di luar Ramadhan.
Berdasarkan riwayat lain dalam Shohih Bukhari pada Bab ‘Apabila seseorang bersetubuh di (siang hari) bulan Ramadhan’:
Disebutkan dari Abu Hurairah dan beliau mengatakan bahwa hadits ini adalah perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
« مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ ، مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَلاَ مَرَضٍ لَمْ يَقْضِهِ صِيَامُ الدَّهْرِ ، وَإِنْ صَامَهُ
“
Barangsiapa membatalkan puasa (dengan sengaja) pada suatu hari di
bulan Ramadhan tanpa ada udzur (alasan) dan sakit, maka walaupun dia
berpuasa sepanjang tahun, hal itu tidak akan mencukupkannya.”
[Namun, hadits ini dho’if sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al Albani dalam Dho’if At Targib wa At Tarhib no. 605]
Tentang hal ini, Ibnu Mas’ud, Sa’id bin Al Musayyib, Asy Sya’bi, Ibnu Jubair, Ibrahim, Qotadah dan Hammad mengatakan,
يَقْضِى يَوْمًا مَكَانَهُ
“
Orang tersebut wajib mengqodho pada hari yang lain sebagai penggantinya.” (HR. Bukhari no. 29)
[3] Selain mengqodho, orang tersebut harus membayar kafaroh yaitu:
- Membebaskan seorang budak mukmin yang bebas dari cacat.
- Jika tidak mampu, berpuasa dua bulan berturut-turut.
- Jika tidak mampu, memberi makan kepada 60 orang miskin. Setiap orang
miskin mendapatkan satu mud makanan. (Lihat Syarh An Nawawi ‘ala
Muslim, 4/97, Asy Syamilah)
[4] Jika seseorang tidak mampu melaksanakan kafaroh di atas, kafaroh
tersebut tidaklah gugur, namun tetap wajib baginya sampai dia mampu. Hal
ini diqiyaskan (dianalogikan) dengan bentuk utang-piutang dan hak-hak
yang lain.
Adapun hadits di atas tidaklah menafikan adanya kafaroh. Bahkan dalam
hadits tersebut menunjukkan masih tetap ada kewajiban kafaroh bagi
laki-laki tersebut. Dalam hadits tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam hanya memberitakan bahwa orang tersebut tidak dapat memenuhi
ketiga bentuk kafaroh di atas. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
mendapat hadiah kurma dan memerintahkan kepada orang tadi untuk
menggunakannya sebagai kafaroh. Seandainya kafaroh tersebut gugur karena
tidak mampu, maka tentu saja orang tadi tidak memiliki kewajiban
apa-apa dan tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan
untuk bersedekah dengan kurma tersebut. Hal ini menunjukkan tentang
masih adanya kewajiban kafaroh bagi orang tersebut. –Inilah yang
dikatakan oleh An Nawawi dalam Syarh Muslim, 4/97-. Pendapat inilah yang
dipilih oleh An Nawawi sebagaimana judul bab yang beliau bawakan dalam
Shohih Muslim.
[5] Menurut madzhab Syafi’i dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad,
wanita yang diajak bersetubuh di bulan Ramadhan tidak punya kewajiban
kafaroh sama sekali, yang menanggung kafarohnya adalah suaminya.
Alasannya yaitu :
a) Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
memerintah wanita yang bersetubuh di siang hari untuk membayar kafaroh
sebagaimana suaminya. Hal ini menunjukkan bahwa seandainya wanita
memiliki kewajiban kafaroh, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tentu akan mewajibkannya dan tidak diam.
b) Kafaroh adalah hak harta. Oleh karena itu, kafaroh dibebankan
pada laki-laki sebagaimana mahar. (Lihat Shohih Fiqih Sunnah, 2/108)
Penjelasan Al Faqih Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin Mengenai Pembatal Puasa
[Pembahasan berikut disarikan dari penjelasan beliau rahimahullah dalam
Majmu’ Fatawa dan Rosa’il Ibnu ‘Utsaimin, 17/143, Asy Syamilah]
Inilah empat macam pembatal puasa yang apabila dilakukan seorang muslim
di siang hari bulan Ramadhan tanpa ada udzur maka dia akan mendapat
empat perkara :
1. Dosa
2. Puasanya batal
3. Wajib menahan diri dari makan dan minum di sisa harinya
4. Wajib mengqodho’ puasa
Adapun jika puasanya batal karena jima’ (bersetubuh) di siang hari bulan
Ramadhan, maka diwajibkan baginya membayar kafaroh. Akan tetapi wajib
diketahui bahwa pembatal-pembatal ini tidaklah membatalkan puasa hingga
terpenuhi tiga syarat :
[Syarat Pertama] Berilmu
Apabila seorang yang berpuasa melakukan salah satu pembatal di atas
karena tidak tahu (jahil), baik jahil terhadap waktu atau hukum maka
puasa tetap sah.
Misal jahil terhadap waktu : Seseorang bangun di akhir malam dan dia
menyangka fajar belum terbit, kemudian dia makan dan minum. Namun
ternyata fajar telah terbit dan dia baru mengetahuinya, maka puasa orang
ini sah karena dia jahil terhadap waktu.
Misal jahil terhadap hukum : sebagaimana terdapat dalam As Sunnah dari
hadits Asma’ binti Abu Bakr radhiyallahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh
Bukhari dalam shohihnya Asma’ berkata,
أَفْطَرْنَا عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - يَوْمَ غَيْمٍ ، ثُمَّ طَلَعَتِ الشَّمْسُ
“
Kami pernah berbuka di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari yang mendung lalu tiba-tiba muncul matahari.”
Para sahabat berbuka pada siang hari, akan tetapi mereka tidak
mengetahui. Mereka menyangka bahwa matahari telah tenggelam. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintah mereka untuk mengqodho’.
Seandainya qodho’ tersebut wajib, tentu beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam akan memerintah mereka untuk mengqodho’. Seandainya beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah mereka, tentu akan dinukil
berita tersebut kepada kita. Seandainya kita berbuka dan menyangka
matahari telah tenggelam padahal kenyataannya matahari belum tenggelam,
maka wajib bagi kita menahan diri hingga matahari tenggelam dan puasa
kita tetap sah.
[Syarat Kedua] Dalam Keadaan Ingat, Tidak Lupa
Seandainya seseorang yang berpuasa lupa ketika makan atau minum, maka puasanya tetap sah. Berdasarkan firman Allah Ta’ala,
رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا
أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا
حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا
مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا
أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
“
Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami
tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban
yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami.
Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak
sanggup kami memikulnya. Beri ma'aflah kami, ampunilah kami, dan
rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap
kaum yang kafir.” (QS. Al Baqarah [2] : 286)
[Syarat Ketiga] Berdasarkan Keingingan Sendiri Bukan Dipaksa
Seandainya seorang yang berpuasa melakukan salah satu pembatal di atas
bukan atas kehendak atau pilihannya sendiri, maka puasanya tetap sah.
Seandainya seseorang berkumur-kumur kemudian air masuk ke dalam perut
tanpa kehendaknya, maka puasanya tetap sah.
Seandainya seorang pria memaksa istrinya untuk berjima’ (di siang hari
bulan Ramadhan) dan dia tidak mampu menolak paksaan suaminya, maka puasa
wanita tersebut sah karena itu bukan berdasarkan kehendaknya sendiri.
Dalil dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ
إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ
وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ
اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“
Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia
mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal
hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa). Akan tetapi
orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah
menimpanya dan baginya azab yang besar.” (QS. An Nahl [16] : 106)
Semoga Allah selalu memberikan kita petunjuk, ketakwaan, dimudahkan
menjauhi yang haram dan diberikan rasa kecukupan. Dengan demikian,
berakhirlah artikel tentang
Hal-hal yang Membatalkan Puasa pada
Bulan Ramadhan ini.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu
‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Referensi Utama :
Shifat Shoum An Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam fi Ramadhon, Salim
bin ‘Ied Al Hilaliy dan ‘Ali bin ‘Ali Abdul Hamid, Maktabah Al Islamiyah
dan Dar Ibnu Hazm
Shohih Fiqih Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayid Salim, Jilid 2, Al Maktabah At Taufiqiyah
Referensi lainnya adalah referensi tambahan.